Makassar, teropongaspirasimasyarakat.com
Hengky Lisady Melalui Kuasa Hukumnya, HR & Partnersi Law Office, Husain Rahim Saijje, S.H,, Rahmatullah, S.H., dan Ince Sri Hidayati, DM., S.H., Sebagai pemohon mengajukan Praperadilan kepada Pengadilan Negeri Makassar, melawan Kepala Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar, Cq. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes (Termohon 1) dan Kepala Kejaksaan Negeri Makassar Cq. Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Makassar (Termohon 2)
Sidang Praperadilan ini di pimpin langsung oleh majelis hakim tunggal Yamto, S.H.,M.H., berlangsung mulai sekitar pukul 14. 50. WITA di ruang sidang utama Dr. Harifin A. Tumpa, S.H.,M.H. selasa 26/10/2021.
Turut hadir dalam sidang ini kuasa hukum pihak pemohon dan termohon Polrestabes Makassar serta Kejaksaan Negeri Makassar, dalam agenda sidang ke dua ini Pihak pemohon Praperadilan menghadirkan saksi ahli dari akademisi Universitas Indonesia Timur Dr. Makkah HM, S.H.,M.H.,M.Kn.
Kuasa Hukum Hengky Lisady selaku pemohon Praperadilan, Husain Rahim Saijje, S.H., saat ditanyakan Wartawan apa alasannya sehingga melakukan Praperadilan, “Adapun alasan kami melakukan Praperadilan karena Termohon 1 (Polrestabes) menetapkan Tersangka kepada pemohon Hengky Lisady dengan dugaan tindak pidana penggelapan sebagaimana di maksud dalam rumusan Pasal 372 KUHPidana dan atas penyitaan alat bukti surat-surat yang ditetapkan oleh termohon berdasarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan lanjutan Nomor : A.3/159/VII/Res.1.11/2020/Reskrim tanggal 23 juli 2020.
Sesuai apa yang kami sampaikan dalam surat permohonan Praperadilan kepada majelis hakim maka penetapan tersangka atas diri pemohon dalam penyidikan lanjutan Nomor : A.3/159/VII/Res 1.11/2020/Reskrim Didasarkan pada alat bukti dan penyitaan barang bukti yang sudah tidak berlaku dan tidak sah menurut hukum yang berkekuatan tetap. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang kami sampaikan, Proses penyidikan lanjutan yang dijalankan termohon dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka terdapat penyimpangan yang menyalahi aturan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak berdasar hukum.” Ungkapnya
.
Saksi Ahli dari akademisi Fakultas Hukum UIT Dr. Makkah HM, S.H.,M.H.,M.Kn. dalam keterangannya menyampaikan bahwa, “Putusan praperadilan pasca keluarnya Perma (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor. 4 Tahun 2016 tentang larangan Peninjauan kembali praperadilan itu jelas mengatur bahwa putusan praperadilan itu bersifat final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum Peninjuauan Kembali ( PK) tidak mengurangi kewenangan penyidik untuk melakukan penyelidikan ulang tetapi harus minimal dua alat bukti baru yang sah yang belum pernah yang dipergunakan alat bukti dalam perkara sebelumnya, Kalau ada hal seperti itu yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, jelas penetapan tersangka itu unprosedural (tidak prosedural) sehingga Penetapan tersangka menjadi materi permohonan praperadilan.
Penetapan tersangka pasca putusan MK nomor 21/PUU-XII/214 tanggal 28 Oktober 2014 yang memasukkan materi praperadilan berupa penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan memperluas materi praperadilan dalam pasal 77 KUHAP yang sebelumnya hanya materi tidak sahnya penangkapan, penahanan terbitnya SP3 di tingkat penyidikan dan penuntutan serta materi gugatan ganti rugi dan rehabilitasi karena perkaranya dihentikan ditingkat penyidikan dan penuntutan kemudian penetapan tersangka sebelum keluarnya putusan MK itu penyidik atau penuntut umum hanya berpatokan bukti yang cukup atau bukti permulaan atau bukti permulaan yang cukup sekarang ini tidak mengikat lagi tetapi penetapan tersangka harus minimal dua alat bukti seperti yang diatur 184 KUHAP yang diperoleh dengan cara yang sah dan kalau itu tidak memenuhi itu jelas penetapan tersangka itu unproseduRal kemudian kalau ada putusan praperadilan padahal sebelumnya sudah ada putusan praperadilan (praperadilan diatas praperadilan ) ibaratnya seperti lingkaran setan yang tidak berkesudahan seperti ini pernah dulu terjadi PK diatas PK itu seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya sehingga para penegak hukum harus patuh terhadap PERMA nomor 4 tahun 2016 tentang larangan peninjauan Kembeali putusan parperadilan dimana perma ini latar belakang terbitnya dilandasi dengan putusan MK nomor 56 tahun 2011 yang mencabut menyatakan tidak berlaku pasal 83 ayat 2 tentang tidak ada upaya hukum banding bagi putusan praperadilan sehingga putusan praperadilan bersifat final dan mengikat selain itu terbitnya perma ini juga dilandasi adanya putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014. Namun tidak menghalangi penyidik untuk melakukan penyidikan ulang tetapi harus dengan dua alat bukti yang sah dan 2 bukti itu bukan alat bukti yang pernah dipergunakan sebelumnya dan diperoleh dengan cara yang sah ditambah dengan barang bukti banding, dan walaupun penyidik memilki dua alat bukti baru (Novum) akan tetapi diperoleh tidak sesuai dengan prosedural (unprosedural) maka tetap penetapan tersangka tidak sah.
Bahwa mudah2 han kasus dimana saksi ahli memberikan keterangan ahli ini akam menjadi rekomendasi MA mengeluarkan PERMA tentang larangan melakukan praperadilan kembali atas putusan praperadilan (Prapid diatas prapid) karena akan menjadi preseden buruk tentang penegakan hukum di negara kita dan kasus tersebut tidak akan pernah ada ujungnya , sehingga MA harus berani mengeluarkan PERMA tenang larangan melakukan permohonan praperadilan diatas putusan praperadilan seperti yang pernah terjadi PK diatas PK.” Kata Dr. Makkah HM, yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum UIT.(Makmur Amin).