LUTRA,
π§ππ₯π’π£π’π‘πππ¦π£ππ₯ππ¦ππ ππ¦π¬ππ₯ππππ§.ππ’π |
Bermula dari Sumbangan Sukarela Orang Tua Siswa di SMAN 1 Lutra Berbuntut PTDH dua Guru.
Keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap dua guru SMAN 1 Luwu Utara, Sulsel menuai sorotan.
Salah satu guru yang menjadi korban, PTDH, Drs Abdul Muis, menilai keputusan tersebut tidak adil dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi tenaga pendidik yang telah berupaya membantu keberlangsungan pendidikan di sekolah.
Abdul Muis Menjelaskan kronologis Kasus ini Kepada Media Teropong Aspirasi Masyarakat com.
Bahwa Bermula pada tahun 2018, saat terdapat delapan guru honorer di SMAN 1 Luwu Utara(Lutra) Sulawesi Selatan yang belum bisa menerima honor karena belum terdaftar dalam sistem Dapodik (Data Pokok Pendidikan).
Menyikapi hal itu, kepala sekolah bersama para guru menggelar rapat koordinasi untuk mencari solusi atas masalah tersebut.
Hasil rapat sekolah kemudian disampaikan kepada Ketua Komite Sekolah, yang memberikan saran agar pihak sekolah mengundang orang tua atau wali siswa guna membicarakan kemungkinan pemberian sumbangan sukarela demi menutupi honor para guru honorer Yang belum terdaftar didapodik,
Pada Februari 2018, digelarlah rapat bersama wali murid kelas X dan XI. Dalam rapat tersebut, pihak sekolah menjelaskan kebutuhan dana sekitar Rp17.000 per siswa per bulan, dengan ketentuan bahwa siswa dari keluarga kurang mampu dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Namun, dinamika rapat kemudian berkembang. Para wali murid justru mengusulkan agar anak-anak mereka mendapat pelayanan maksimal, bahkan siap memberikan insentif tambahan bagi guru yang memegang tugas tambahan seperti wali kelas dan pembina kegiatan ujar Abdul Muis
Menambahkan bahwa Akhirnya, disepakati sumbangan sebesar Rp20.000 per orang tua siswa, sementara yang tidak mampu tetap dibebaskan. Mekanisme ini berjalan lancar selama sekitar dua setengah tahun, hingga Maret 2021, dan setiap tahun selalu dilakukan rapat serta laporan pertanggungjawaban terbuka oleh pihak komite.
Namun, masalah muncul pada pertengahan Maret 2021, saat seorang yang mengaku aktivis LSM melaporkan kegiatan tersebut ke Polres Luwu Utara sebagai dugaan pungutan liar (pungli). Akibatnya, seluruh pengurus komite, wali kelas, dan kepala sekolah diperiksa, termasuk Abdul Muis yang saat itu menjabat sebagai bendahara komite.
“Bahkan saya diperiksa berulang kali, padahal semua kegiatan dilakukan secara transparan dan hasilnya selalu dilaporkan kepada orang tua siswa,β ujar Abdul Muis menjelaskan kronologinya.
Pada Juli 2021, dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Drs. Abdul Muis (bendahara komite) dan Drs. Rasnal, M.Pd (kepala sekolah). Pihak kepolisian juga menyita arsip serta uang komite senilai lebih dari Rp28 juta. Berkas perkara dinyatakan P-21 dan dilimpahkan ke kejaksaan, namun kemudian dikembalikan (P-19) karena dinilai belum lengkapβdengan catatan bahwa perkara hanya bisa dilanjutkan jika ditemukan adanya kerugian negara.
Selanjutnya, Inspektorat Kabupaten Luwu Utara dilibatkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka dan sejumlah guru. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pemeriksaan dilakukan dengan alasan βdiduga merugikan keuangan negaraβ.
Abdul Muis mengaku sempat mempertanyakan dasar pemeriksaan tersebut.
βSaya tanya, apa hubungannya sumbangan orang tua siswa dengan kerugian negara? Tapi pihak inspektorat tidak bisa memberi jawaban yang logis,β ungkapnya.
Meski demikian, dari hasil pemeriksaan inspektorat muncul testimoni adanya kerugian negara sebesar sekitar Rp700 juta yang disebut berasal dari total sumbangan orang tua siswa selama tiga tahun. Dengan dasar itu, kasus pun dilanjutkan ke Pengadilan Tipikor Makassar pada Agustus 2022.
Sidang berlangsung hingga 23 Desember 2022, dengan total 22 kali sidang, dan berakhir dengan vonis lepas untuk kedua terdakwa. Namun, jaksa kemudian mengajukan kasasi, dan pada November 2023, Mahkamah Agung memutuskan bahwa keduanya bersalah dan dijatuhi hukuman satu tahun penjara serta denda Rp50 juta.
Rasnal menjalani hukuman dan bebas pada Agustus 2024, sementara Abdul Muis dieksekusi dan bebas pada 26 Mei 2025.
Namun, persoalan belum berakhir. Pada 21 Agustus 2025, Drs. Rasnal, M.Pd resmi diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) dari jabatannya sebagai guru, sementara surat PTDH milik Abdul Muis diterbitkan pada 30 September 2025.
Bagi Abdul Muis, keputusan tersebut terasa sangat tidak adil.
βKami hanya melaksanakan hasil kesepakatan bersama antara sekolah, komite, dan orang tua siswa. Tidak ada unsur paksaan, apalagi niat memperkaya diri. Semua dilakukan demi keberlangsungan proses belajar mengajar,β tuturnya dengan nada kecewa.
Kasus ini pun menjadi sorotan publik, terutama di kalangan pendidik dan pemerhati pendidikan, yang menilai perlunya kejelasan hukum terkait status sumbangan sukarela dari masyarakat kepada sekolah agar tidak selalu dianggap sebagai pungutan liar, Jelasnya.
( Muh Ahmad)











