MAKASSAR, TeropongAspirasiMasyarakat.com – Bertempat di lapangan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Darul Fikri Makassar, para guru dan siswa yang dipimpin kepala sekolahnya melaksanakan Hari Kesadaran Autisme Internasional atau World Autism Acceptence Day 2025, Rabu, 30 April 2025.
Menurut ketua panitia Andi Safar Danial, S.Pd.Kegiatan tersebut diikuti sebanyak 74 orang peserta ini diisi dengan kegiatan finger painting, yakni membentuk logo infinity atau simbol tak terbatasnya potensi dan keberagaman dalam spektrum autisme
“Kami juga menyelenggarakan berbagai permainan yang dirancang untuk menstimulasi kemampuan sensori dan motorik anak, sebagai wujud nyata dari pendidikan yang ramah dan berpihak pada semua.” Katanya.
Namun peringatan ini, sambung Andi Safar Danial , bukan sekadar perayaan biasa. “Tapi Ia adalah pengingat. Pengingat bahwa anak-anak dengan autisme tidak meminta dunia yang istimewa—mereka hanya membutuhkan dunia yang bisa menerima, memahami, dan memberinya ruang” kunci Andi Safar.
Sementara itu Kepala DPI-LPM SIT Darul Fikri Makassar Nurul Khofifah, M.Psi., Psikolog mengaku bersyukur atas terselenggaranya kegiatan ini. “Alhamdulillah, Segala puji haya milik Allah SWT, Salawat dan Salam atas kekasih-Nya Nabiyullah Muhammad SAW. Hari ini, di bawah langit cerah Kota Makassar, kami memperingati Hari Kesadaran Autisme Internasional bersama seluruh murid dan guru DPI-LPM dalam suasana hangat dan penuh semangat, anak-anak mengikuti kegiatan tersebut.” Ujarnya.
Peringatan ini, kata Nurul Khofifah mengajak kita semua para guru, orang tua, pengambil kebijakan, dan masyarakat luas, untuk tidak berhenti pada simbol dan slogan.

“Mari kita ubah cara pandang: dari simpati menjadi aksi, dari sekadar menerima menjadi merangkul. Karena keberagaman bukan hambatan dalam pendidikan, tapi kekuatan yang memperkaya proses belajar.” Pinta Nurul Khofifah.
Sebagai kepala departemen inklusi, papar Nurul Khofifah, dirinya menyaksikan sendiri bahwa ketika kita membuka hati dan menyesuaikan pendekatan, maka anak-anak ini bisa tumbuh luar biasa, dengan caranya sendiri yang unik.
“Inklusi bukan hanya istilah dalam dokumen sekolah. Ia adalah komitmen harian. Ia hidup dalam cara guru menyapa, dalam cara teman sekelas memberi ruang, dan dalam cara sekolah menciptakan kegiatan yang menghargai keunikan setiap anak.” Jelas Nurul Khofifah.
“Hari ini kami membentuk simbol infinity bersama anak-anak, tapi harapannya lebih besar dari itu: agar dunia pendidikan benar-benar tak terbatas dalam menerima dan mendukung semua anak—tanpa syarat. Melebihi Spektrum: Memaknai Hari Autisme sebagai Panggilan Inklusi Sejati” urainya.
Karena pada akhirnya, kata Nurul Khofifah, inklusi bukan tentang kita membantu mereka agar dapat hidup di dunia kita, tetapi tentang bagaimana kita membentuk dunia agar layak bagi semua. (*)