sumber gambar :google.co.id
Jakarta: teropongaspirasimasyarakat.com.
GURU OH GURU KU SAYANG…… Refleksi atas Manajemen Kelembagaan dan SDM Guru di Indonesia temasuk Sulsel).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan tiga masalah utama yang dihadapi guru dan tenaga kependidikan di Indonesia yakni distribusi, kompetensi, dan kesejahteraan. Menurut Direktorat
Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Sri Renani. mengatakan jika tidak memperhitungkan guru honorer, jumlah kekurangan guru PNS di sekolah negeri mencapai 988.133 guru. Jumlah kekurangan guru terbanyak terjadi pada SD, yaitu sebesar 460.542 guru.
“Distribusi guru tidak merata, selain itu ada yang pensiun, meninggal, mutasi, dan promosi atau diangkat sebagai pejabat, sehingga terjadi kekurangan jumlah guru PNS di sekolah negeri,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Terdapat 250 ribu guru honorer penuhi syarat untuk diangkat jadi CPNS. Sri Renani menuturkan tantangan lain ialah kompetensi. Berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, terdapat sekitar 2,6 juta guru yang diuji dan hasilnya rata-rata nilai UKG mencapai 5,67 dari target rencana strategis (renstra) sebesar 5,5.
“Alhamdulillah target ini terpenuhi. Namun, pada 2016 dilaksanakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang menyasar sekitar 460.000 guru dan saat dites akhir, dari target renstra 6,5, hasilnya rata-rata nilai tes itu 6,49. Kurang sedikit lagi,” tambahnya.
Pada 2017 target renstra nilai akhir guru-guru yang telah mengikuti PKB sebesar 7. Sejauh ini proses UKG sedang berlangsung dengan sasaran nilai 8 pada 2019. Renani menambahkan persoalan kesejahteraan guru yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah untuk guru-guru dengan status bukan PNS.
“Mereka masih belum diberi imbalan yang layak, karena sebagian besar sekolah masih memberikan gaji berdasarkan anggaran dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS),” tambahnya.
Menurutnya, ketiga persoalan guru dan tenaga kependidikan itu bukanlah semata tanggung jawab Kemendikbud, melainkan juga pemerintah daerah maupun masyarakat, termasuk asosiasi profesi guru.
Guru pun Penting Belajar Lagi, Peraturan-peraturan terkait guru dan tenaga kependidikan sudah lengkap, tinggal implementasinya,” tambahnya.
Peringatan Hari Guru Nasional yang digelar sebagai penetapan tanggal berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai Hari Guru Nasional sudah dilakukan sejak 1994.
Namun, selama 27 tahun berjalan, Hari Guru Nasional hanya menjadi sebuah acara seremonial saja tanpa ada perbaikan yang signifikan terhadap persoalan terkait guru.
Ketua umum pengurus besar PGRI, Sulistiyo kala itu, mengatakan bahwa ada beberapa persoalan guru yang menonjol dan tidak kunjung mendapat penyelesaian dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yaitu: sebagai pendidik anak bangsa, permasalahan guru ini nyaris tidak didengar oleh penguasa.
“Ada banyak hal, dari pendidikan guru yang tidak memadai, sistem rekrutmen dan distribusi yang tidak sesuai bahkan masalah kesejahteraan juga masih ada,” kata Sulistiyo saat jumpa pers di Kantor PGRI.
Masalah pertama guru, ungkapnya, adalah pendidikan guru yang jauh dari memadai tersebut berdampak pada kualitas dan kompetensi guru yang ada saat ini. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat masa depan anak Indonesia juga bertumpu pada guru-guru yang memberikan pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pengangkatan guru yang tidak berdasar kebutuhan dan masih bernuansa KKN. Sementara untuk distribusi guru sendiri, masih terjadi banyak masalah yang berakibat pada tidak meratanya jumlah guru di tiap wilayah terutama daerah terpencil.
Imbasnya, daerah tersebut kekurangan guru dan pendidikan untuk anak-anak menjadi terhambat. “Masalah ini sebenarnya paling sering dipersoalkan tapi penyelesaiannya tidak pernah ada. Kalau pemerintah saja tidak bisa, lalu bagaimana,” ungkap Sulistiyo. Masalah ketiga adalah pengembangan kompetensi dan karir yang tidak berjalan sesuai tujuan.
Banyak guru yang telah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan justru malah menurun kompetensinya.
Untuk itu, standard kompetensi perlu disiapkan, dijaga dan dibina. “Untuk pembinaan karir juga tidak jelas, banyak yang perlakuan karirnya akhirnya bermasalah karena jadi bentuk hukuman misalnya tak mendukung kebijakan atau pemimpin daerah terpilih,” ungkap Sulistiyo. Sementara itu, masalah terakhir adalah hak guru yang tidak diterima sesuai waktu yang ditentukan.
Salah satu masalah tunjangan profesi guru yang nyaris selalu terlambat di tiap daerah.
Padahal dalam UU guru dan dosen Pasal 14 ayat (1) huruf a, tertera jelas guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan kesejahteraan sosial. “Ini yang juga selalu dikeluhkan guru. Sudah bekerja optimal masih saja tidak memperoleh haknya dengan sesuai,” tandasnya.
Status guru honorer di banyak daerah tidak jelas karena tidak memiliki SK mengajar.
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) 2016-2021 Muhammad Ramli Rahim, mengatakan setidaknya terdapat tiga masalah guru honorer yang selalu dihadapi. Ketiga masalah tersebut adalah status yang tidak jelas, kesejahteraan yang rendah dan kualitas. Ramli menjelaskan, status guru-guru honorer di banyak daerah tidak jelas karena tidak memiliki SK (Surat Keputusan) mengajar.
“Jangankan SK dari kepala daerah, SK dari kepala sekolah pun kadang tidak memiliki tapi ngajar di ruang kelas,” kata Ramli, dalam webinar bersama PPI United Kingdom. Status yang tidak jelas ini, kata Ramli membuat para guru honorer tidak bisa mendapatkan banyak hal layaknya guru-guru lain. Selain itu, permasalahan status ini banyak muncul di sekolah negeri.
Guru di sekolah swasta rata-rata lebih jelas statusnya karena diangkat sebagai guru yayasan. Ramli melanjutkan, masalah kedua adalah kesejahteraan guru honorer yang masih rendah. Status yang tidak jelas menyebabkan kesejahteraan mereka otomatis tidak terjamin. Ia menjelaskan, yang terjadi di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan tempat dirinya tinggal. Terdapat guru honorer yang hanya dibayar Rp 100 ribu setiap bulannya.
Masalah ketiga adalah dari sisi kualitas guru. Menurutnya, kualitas guru yang rendah ini sangat wajar karena sistem rekrutmen yang tidak jelas di awal. Bahkan, menurut Ramli, tidak ada sistem untuk merekrut guru honorer dan hanya mempekerjakan orang yang mencari pekerjaan tanpa proses yang jelas.
“Kenapa kualitas ini menjadi masalah? Karena sistem rekrutmen yang tidak baik. Tidak ada sistem malah, yang dibuat oleh Kemendikbud dan yang terjadi adalah pembiaran,” kata dia lagi. Koordinator P2G Satriwan Salim pernah mengatakan perkara kualitas guru, kesejahteraan, sampai perlindungan keamanan menjadi persoalan yang paling umum ditemukan, terutama di tengah pandemi Covid-19.
“Bagaimanapun juga LPTK masih menjadi pabrik calon guru. Rendahnya kompetensi guru Indonesia hingga sekarang tak lepas dari buruknya pengelolaan guru mulai dari hulunya, yakni LPTK tersebut. Satriwan menilai pemerintah perlu melakukan pembenahan seleksi masuk dan revitalisasi pengelolaan LPTK secara nasional untuk memperbaiki kualitas guru.
Sedangkan pemerintah daerah menurutnya harus lebih memperhatikan insan pendidikan dalam kebijakan. Ia mengatakan masih banyak daerah yang menyisihkan jauh di bawah 20 persen anggarannya untuk pendidikan. Dengan alokasi anggaran yang minim, menurutnya akan sulit bagi pemerintah daerah mendorong peningkatan kualitas guru-guru yang dimiliki.
“Politik anggaran pendidikan khususnya untuk peningkatan kompetensi guru adalah kebutuhan mendesak untuk dilakukan. Jika tidak, guru-guru kita masih berkutat di urusan kompetensi yang menyedihkan. Kalau perlu jangan pilih calon kepala daerah yang tak berkomitmen menaikkan anggaran pendidikan daerah menjadi 20 persen,” kata dia.
Sedangkan perkara kesejahteraan juga masih jadi persoalan bagi banyak guru honorer di daerah. Pihak P2G menemukan masih banyak guru yang memiliki upah Rp500 ribu sampai Rp700 ribu per bulan, namun dituntut menjadi pengajar dan pendidik yang berkualitas. Ia mengatakan pemerintah daerah seharusnya memastikan guru honorer dibayar sesuai upah minimum yang sudah ditentukan di tingkat provinsi atau regional.
Satriwan juga menemukan beberapa kendala pada program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang diberikan kepada tenaga pendidik non-PNS. Ia mengatakan banyak keluhan dari guru honorer yang tidak terdaftar bantuan, padahal memenuhi syarat. Beberapa di antaranya berada di DKI Jakarta; Kabupaten Pandeglang, Banten; Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Kabupaten Brebes, Jawa Tengah; Kota Bekasi dan Kabupaten Garut, Jawa Barat. “Ada kasus seperti di Pacitan, seorang Guru ASN SMA justru dapat BSU setelah mengecek di web Info GTK.
Artinya pendataannya masih bermasalah. P2G berharap direktur jenderal GTK betul-betul meng-crosscheck validasi penerima BSU agar tepat sasaran,” lanjutnya.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Z Haeri menambahkan perlindungan terhadap guru juga diharapkan seiring kebijakan pembukaan sekolah diserahkan kepada pemerintah daerah.
Mendikbud Nadiem Makarim memutuskan sekolah boleh dibuka di tengah pandemi Covid-19 asal memenuhi syarat. Keputusan itu diserahkan ke pemerintah daerah masing-masing dengan memerhatikan risiko penularan di zona tersebut.
Meskipun demikian, hal tersebut memunculkan kekhawatiran akan kesehatan dan kesehatan guru serta siswa. “Menunda sekolah tatap muka merupakan langkah terbaik untuk melindungi kesehatan dan keselamatan guru dan siswa serta keluarga mereka,” katanya.
Bertepatan dengan Hari Guru Nasional yang diperingati pada 25 November lalu, Mendikbud Nadiem Makarim berjanji akan berkomitmen dalam menyejahterakan guru honorer di tahun 2021. Upaya ini dilakukan dengan membuka kuota untuk 1 juta guru menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK/ P3K).
Upaya Mengatasi Permasalahan Guru di Indonesia
Dari uraian beberapa sumber diatas terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan yaitu guru, dana, kurikulum, SDM non guru, fasilitas & sumber belajar, sarpras, ipoleksosbudhanstab.
Diantara beberapa faktor tersebut faktor guru lah yang sangat mempunyai pengaruh besar terhadap mutu pendidikan. Jika guru yang ada dalam suatu bangsa mempunyai tingkat kualifikasi atau kompetensinya rendah, maka mutu pendidikan dalam bangsa tersebut bisa dipastikan rendah juga. Akan tetapi sebaliknya, jika tingkat kualifikasi atau kompetensi guru dalam suatu bangsa tinggi maka mutu pendidikan dalam bangsa tersebut bisa dipastikan tinggi.
Jadi upaya untuk terus meningkatkan kompetensi guru di Indonesia ini memang harus selalu ditingkatkan guna untuk pendidikan bangsa yang lebih maju misalnya melalui, workshop, PLPG, PPG, studi lanjut, dan sebagainya. Selanjutnya saya akan membahas berbagai masalah guru yang ada di Indonesia serta upaya mengatasi masalah-masalah tersebut.
Diharapkan dengan pengetahuan mengenai upaya mengatasi permasalahan guru ini sedikit banyak dapat menambah informasi tentang upaya mengatasi permasalahan guru dan membantu menangani persoalan guru yang kita hadapi sekarang ini, serta bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidikan kedepan khususnya di Sulawesi Selatan. Berikut ini berbagai masalah guru di Indonesia serta upaya mengatasi masalah tersebut, diantaranya:
- Jumlah guru yang sangat besar yaitu menurut data UNESCO 2011, Indonesia memiliki lebih dari 3,4 juta orang guru. Namun, berdasarkan data Kemendikbud hanya 16,9 persen atau 575 ribu orang guru yang memiliki sertifikasi. Masalah pertama yang dihadapi Indonesia yaitu jumlah guru yang terlalu besar, kelebihan jumlah guru ini bisa jadi karena sekarang ini lembaga pencetak tenaga pendidik dan kependidikan semakin menjamur dan mereka berlomba-lomba membuka kelas. Dengan kata lain mereka lebih mementingkan kuantitas daripada kualitasnya. Kenyataan yang ada di lapanganpun seperti itu. Sekarang ini banyak sekali jumlah guru, baik dari jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar sampai pada pendidikan menengah, akan tetapi kemampuan atau kompetensinya juga terkadang patut dipertanyakan. Kenyataan itu didukung oleh data dari Kemendikbud yang menunjukkan bahwa hanya terdapat 16,9 persen dari keseluruhan jumlah guru yang bersertifikasi. Solusi untuk mengatasi jumlah guru yang terlalu besar ini, menurut saya yaitu pemerintah dalam hal ini Kemendikbud melalui Dirjen Dikti perlu mengatur dan mengawasi Lembaga Pendididk Tenaga Kependidikan (LPTK) baik itu negeri maupun swasta dalam melakukan penerimaan mahasiswa baru serta memberi sanksi yang tegas kepada LPTK yang melanggar aturan tersebut. Kenapa dalam hal ini saya cenderung menyoroti pada LPTK, karena LPTK ini saya analogikan sebagai suatu perusahaan produksi, dimana mereka memproduksi tenaga pendidik dan kependidikan sebagai hasil dari proses produksi mereka. Kalau produsen-produsen ini diatur dengan aturan yang tegas dan selalu diawasi maka mereka tidak akan melakukan proses produksi dengan seenaknya, dengan begitu hasil produksi dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan lainya bisa dikendalikan jumlahnya.
- Pendataan guru yang belum sepenuhnya selesai sehingga sulit untuk mengetahui supply and demand. Masalah yang kedua ini memang rumit dan berlarut-larut. Kenapa demikian, karena proses pendataan yang terjadi dilapangan, banyak mengalami problem, sehingga data guru selalu berubah setiap tahunnya. Sulit memang untuk mengetahui jumlah kekurangan dan kelebihan guru ini secara akurat, hal ini dikarenakan masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan ijazahnya dan data yang dilaporkan oleh pihak sekolah masih banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya saja dalam satu sekolah seorang guru mapel X mengajar dua mapel sekaligus dengan mapel Y, akan tetapi ijazahnya hanya untuk mapel X tadi yang sesuai akan tetapi jam mapel Y tadi biasanya diakumulasikan ke mapel X untuk dilaporkan kedinas. Selain itu ada juga guru yang sebenarnya tidak birijazah PGSD yang karena kedekatannya dengan kepala sekolah akhirnya diijinkan untuk mengajar di SD yang dipimpinnya karena mungkin terlalu sulitnya mencari peluang di sekolah lain. Solusi untuk masalah pendataan guru ini yaitu diharapkan pihak sekolah agar melaporkan data guru apa adanya yang sesuai dengan kompetensi dan ijazahnya, sehingga dapat dilakukan pemetaaan kelebihan atau kekurangan guru mapel atau guru SD dalam suatu daerah. Berikutnya untuk petugas pendataan dalam hal ini dinas pendidikan daerah agar selalu melakukan verifikasi data, dengan langsung terjun ke sekolah-sekolah untuk menghindari ketidakvalidan data yang disetorkan oleh sekolah ke dinas pendidikan daerah. Setelah data tersebut benar-benar valid baru dikirim ke pusat untuk dipetakan kebutuhan atau kelebihan guru dalam suatu daerah.
- Distribusi guru belum merata. Masalah yang ketiga ini erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah tentang desentralisasi pengelolaan guru serta kondisi pembangunan di Indonesia yang belum merata. Dengan adanya desentralisasi pengelolaan guru terkait dengan kebijakan otonomi daerah yang sedang berlangsung saat ini, menjadikan pemerintah daerah mempunyai wewenang penuh atas PNS guru maupun non guru yang berada di wilayah kerja kota/kab. tertentu. Hal inilah yang menyebabkan persebaran guru tidak merata. Jadi misalnya suatu daerah kekurangan tenaga guru, mereka tidak bisa meminta bantuan guru dari daerah lain. Berikutnya kondisi pembangunan di Indonesia yang belum merata, kalau kita melihat kondisi geografis wilayah negara Indonesia yang berupa negara kepulauan memang menyulitkan bagi pemerataanb pembangunaan. Saat ini pembangunan yang cukup pesat hanya terjadi di wilayah pulau Jawa, Sumatra, Bali sedangkan wilayah-wilayah yang lain sangat lambat proses pembangunannya. Naluri kemanusian yang menginginkan hidup sejahtera serta dekat dengan sanak saudara juga menjadi masalah tersendiri, jadi kalau mereka ditempatkan di suatu tempat yang minim sekali sarana prasarana, fasilitas penunjang hidup serta jauh dengan family sangat jarang sekali yang berminat. Solusi untuk permasalahan distribusi guru yang tidak merata adalah pertama, sistem desentralisasi pengelolaan guru harus dikembalikan pada sistem sentralisasi. Jadi pengelolaan guru memang menjadi wewenang penuh pemerintah pusat, kalau semisalsuatu daerah banyak membutuhkan tenaga guru sedangkan daerah lain kelebihan guru bisa dengan mudah untuk melakukan pemerataan tenaga guru tanpa terkendala birokrasi pemerintah daerah. Berikutnya pemerintah juga harus memperhatikan wilayah-wilayah di luar pulau Jawa yang masih tertinggal, proses pembangunan jangan hanya terpusat di Jawa, akan tetapi wilayah-wilayah lain juga sangat memerlukan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan. Selain itu perlu adanya pemberian motivasi dan mindset kepada para guru agar mempunyai kesadaran untuk memajukan dunia pendidikan bersama di wilayah-wilayah terpencil yang masih sangat memerlukan pendidikan melalui forum seminar, workshop atau sejenisnya.
- Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S1 /D-IV cukup besar yaitu sebanyak 63,1%. Masalah yang keempat ini kebanyakan berada dilingkup sekolah dasar. Sampai saat ini memang masih banyak sekali guru SD yang belum berijazah S1, dahulu memang untuk guru SD cukup dengan berijazah DII tapi mulai tahun 2007 pemerintah mewajibkan semua guru disemua jenjang pendidikan harus memiliki kualifikasi akademik S1. Beberapa LPTK pun pada tahun ajaran 2007/2008 mulai membuka jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) S1 serta Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PGPAUD) S1. Terkadang masalah yang ada di lapangan ini menunjukkan guru-guru yang bisa dikatakan sudah lanjut usia atau yang sudah mendekati masa-masa pensiun mereka sudah malas atau telah menerima tunjangan profesi walaupun sudah tidak sesuai dengan ketentuan kualifikasi akademik yang berlaku saat ini. Solusi untuk masalah ini yaitu pemerintah harus benar-benar mendorong serta memotivasi para guru yang belum S1 untuk melanjutkan pendidikan lagi dengan menyiapkan beasiswa guru yang melakukan study lanjut dan memberikan sanksi tegas bagi guru-para guru yang sulit diatur seperti pemberhentian pemberian tunjangan sampai pemberhentian tugas kalau sudah dianggap keterlaluan. Bagi para guru juga perlu memiliki kesadaran yang lebih untuk mematuhi peraturan yang berlaku dan bersedia menerima sanksi kalau merasa dirinya tidak patuh terhadap peraturan yang berlaku.
- Banyak guru berkompetensi rendah. Masalah ini lah yang menurut saya benar-benar substansial, sekarang pertanyaan yang pelu kita renungkan bersama yaitu bagaimana kualitas pendidikan kita bisa baik kalau gurunya saja berkompetensi rendah, padahal guru memegang peranan pokok dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Solusi untuk permasalahan ini, yaitu pemerintah membuat progam Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) serta Uji Kompetensi Guru (UKG) untuk mengatasi permasalahan kualitas guru. Akan tetapi menurut saya pelaksanaan UKG dinilai bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikanf masalah kualitas dan profesionalisme guru yang rendah.
Pemerintah justru harus memperbaiki LPTK sebagai penghasil guru. Untuk itu reformasi dalam penyelenggaraan pendidikan di LPTK harus dilaksanakan dengan baik. Dari proses seleksi sampai proses pembelajaran di kampus harus benar-benar dilaksanakan dengan sebaik serta penuh rasa tanggungjawab karena output yang dihasilkan harus memiliki kualitas serta kompetensi unggul.
Kenyataan saat ini bahwa belum semua guru mendapatkan program peningkatan kompetensi. Permasalahan ini terkait dengan kebijakan pemerintah juga, guru yang mengikuti progam-progam peningkatan kompetensi yang diselenggarakan pemerintah seperti PLPG yang saat ini sedang berjalan terus, harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, misalnya berdasarkan masa tugas, usia, lulus test seleksi, memenuhi target 24 JP.
Pemerintah juga harus melakukan penambahan kuota peserta PLPG untuk meminimalisir jumlah guru yang belum mendapatkan progam peningkatan kompetensi, tanpa mengesampingkan kualitas pendidikan yang diberikan.
- Cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga membutuhkan kompetensi (ICT) bagi para guru. Kemampuan guru dalam penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memang masih rendah terutama guru-guru yang sudah lanjut usia. Kebanyakan dari mereka belum mengenal atau mengoperasikan teknologi informasi komunikasi modern, yang saat ini seolah-olah sudah menjadi kebutuhan setiap guru dalam mengakses informasi atau sebagai media yang digunakan dalam proses pembelajaran. Solusi untuk masalah ini yaitu pihak sekolah maupun pemerintah harus memberi pelatihan kepada para guru tentang pemanfaatan TIK dalam pendidikan, bisa melalui workshop atau lokakarya yang dilaksanakan secara berkala. Penguasaan TIK ini memang sangat penting sekali, karena guru harus bisa mengikuti perkembangan jaman, dimana arus informasi dan komunikasi bejalan sangat cepat sekali tanpa mengenal batas ruang dan waktu di era globalisasi seperti sekarang ini.
- Guru akan pensiun pada tahun 2010 s/d 2021 sebanyak kurang lebih 700.000 orang dan memerlukan pengganti. Pensiun yang terjadi secara besar-besaran juga akan menjadi suatu masalah ketika generasi penerus belum siap untuk menggantikan guru-guru senior yang dipensiunkan. Solusi untuk masalah ini, yaitu untuk lulusan baru atau fresh graduate terutama lulusan LPTK harus menyiapkan diri untuk menggantikan guru-guru yang dipensiunkan karena masa jabatannya sudah selesai. Usaha-usaha untuk mempersiapakan diri bisa dengan magang di satu sekolah, dengan begitu seorang calon guru bisa mengetahui keadaan dilapangan secara riil serta mempraktekkan ilmu yang didapat selama di perkuliyahan. LPTK dalam hal ini sebagai pencetak atau penghasil guru harus benar-benar dapat menciptakan output yang berkualitas, agar tongkat estafet mengajar dari guru-guru yang dipensiunkan memang diserahkan kepada calon guru yang sudah siap mengembang dan melaksanakan proses pembelajaran dengan baik.
- Desentralisasi pengelolaan guru, namun penyelesaian masalah yang dihadapi para guru selalu dikirim ke pusat untuk diselesaikan. Permasalahan yang terakhir ini masih terkait dengan masalah guru yang ketiga tadi yaitu distribusi guru yang belum merata. Semestinya pengelolaan guru ini memang harus dikembalikan pada sistem sentralisasi dimana pemerintah pusat mempunyai wewenang penuh dalam pengelolaan guru. Jadi semisal terdapat permasalahan guru yang terjadi di daerah tidak perlu melewati proses yang berbelit-belit dalam upaya penyelesainnya karena langsung ditangani oleh satu instansi dan direktorat khusus di bawah Dirjen pendidikan dasar dan menengah di Kementerian Pendidikan.
Demikian uraian ini disampaikan dengan satu harapan bahwa pengelolan manajemen SDM dan Kelembagaan para guru di Indonesia dan khususnya di Sulwesi Selatan dapat dilaksanakan lebih baik lagi sesuai harapan para guru dan stakeholder pendidikan. Dr Ridwan Ismail Razak .S.sos.M.Si. dikutip dari
Referensi :
https://www.republika.co.id/berita/qo3ujp428/ini-tiga-masalah-serius-guru-honorer
https://edukasi.kompas.com/read/2012/11/26/1337430/~Edukasi~News
https://kabar24.bisnis.com/read/20171123/255/712068/ini-3-masalah-utama-guru-tenaga-pengajar.
https://123dok.com/document/qor9l95q-upaya-mengatasi-permasalahan-guru-di-ind.html
https://adoc.pub/problematika-profesi-guru-dan-solusinya-bagi-peningkatan-kua.html
https://blog.kejarcita.id/pemasalahan-tantangan-yang-dihadapi-guru-dan-solusinya/
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201126105315-20-574704/asosiasi-ungkap-akar-masalah-guru-lembaga-pendidik-dan-upah.
Afifah, Riana. 2012. “Masalah Utama Guru yang Tak Kunjung Selesai”. Artikel.
https://edukasi.kompas.com/read/2012/11/26/1337430/4.Masalah.Utama.Guru.yang.Tak.Kunjung.Selesai.