EDIL WIJAYA NUR (Ketua MGBK SMA Kab. SIDRAP)
Sidrap: teropongaspirasimasyarakat.com Dunia selalu mengingat peristiwa bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki sebagai peristiwa dahsyat yang mengakhiri perang dunia II. Berdasarkan data dari atomicarchive.com, peristiwa yang terjadi pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 ini menelan korban sekitar 135.000 orang di Hiroshima dan 64.000 orang di Nagasaki. Angka yang cukup besar untuk sebuah serangan yang terjadi hanya dalam dua hari saja. Tomonaga (2019) saat meneliti efek dari bom atom ini sampai kepada kesimpulan bahwa “political leaders, especially of nuclear-weapon state, must learn the wisdom of the hibakusha to save Homo Sapiens from possible global extinction by nuclear war”. Hal ini menggambarkan betapa mengerikannya efek dari bom atom ini.
Setelah Deklarasi Postdam, Jepang berubah menjadi negara yang mengutamakan perdamaian dunia dan mengubah segala jenis pendekatannya yang bersifat militeristik menjadi lebih humanis.
Dalam bidang pendidikan, Jepang menerbitkan ‘Pedoman Kebijakan Pendidikan untuk Pembangunan Jepang Baru’ pada 15 September 1945. Susy Ong yang merupakan dosen kajian wilayah jepang di Universitas Indonesia menulis sebuah artikel pada lmsspada.kemdikbud.go.id tentang Reformasi Pendidikan di Jepang pasca Perang Dunia II mengungkapkan bahwa salah satu isi dari pedoman tersebut adalah “Kementerian pendidikan menyelenggarakan program pendidikan ulang (re-edukasi) untuk para guru, agar memahami kebijakan pendidikan yang baru”. Melihat fakta bahwa hari ini Jepang telah menjadi sebuah negara maju dengan perkembangan teknologi yang linear dengan perkembangan sumber daya manusia yang unggul maka kita perlu melihat kebijakan ini sebagai sebuah perspektif dalam menata pendidikan yang lebih baik dan terarah.
Razali (2013) dalam temuannya menulis bahwa “perhatian pemerintah (Jepang) terhadap dunia pendidikan sangat tinggi.
Pemerintah sangat sadar bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa”. Jepang melakukan pendidikan ulang untuk kembali me-reset para guru-guru mereka yang masih menggunakan pemahaman dan gaya mendidik ala Jepang sebelum perang dunia II. Hal ini menjadi salah satu kebijakan penting dalam menyelaraskan tujuan pendidikan mereka dengan implementasinya di lapangan. Tentunya saja penyelarasan ini terkait dengan kurikulum, metode, kualifikasi serta sarana dan prasarana pendidikan yang dinggap harus satu nafas dengan tujuan pendidikan Jepang.
Kemajuan Bangsa
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu kunci dari kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan. Pendidikan merupakan upaya penyiapan warga negara yang diartikan sebagai suatu kegiatan terencana untuk membekali siswa agar menjadi warga negara yang berakhlak mulia. Penyiapan ini kemudian disusun dalam suatu Undang-Undang yang disebut dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Sebuah konstitusi yang meletakkan pondasi dasar mengenai seluruh ketentuan pendidikan yang berlaku di Indonesia.
Munirah (2015) menuliskan bahwa “sistem pendidikan di Indonesia, yang didasarkan pada sistem pendidikan nasional, terdapat kesenjangan antara cita-cita dan kenyataan”. Beliau mengemukakan beberapa faktor yang mendukung argumentasinya seperti lemahnya manajemen, dukungan pemerintah dan masyarakat yang masih rendah.
Sistem ini dianggap belum didukung dengan mekanisme supervise pendidikan yang konsekuen.
Cita-cita pendidikan Indonesia telah jelas tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Salah satu ujung tombak utama dalam mewujudkan cita-cita tersebut adalah para guru.
Guru adalah sosok yang berdiri langsung di hadapan para murid. Guru adalah pemeran utama dalam pendidikan. Namun, guru pun masih memiliki masalah pada hari ini. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan melalui prosiding seminar nasional, Sennen (2017) menulis sesuatu yang menarik, bahwa salah satu permasalahan pokok yang berkaitan dengan kompetensi dan profesionalisme guru adalah “banyaknya guru yang bermental cari gampang”. Temuan ini menjadi fakta dan trend bagi sebagian guru yang ada di Indonesia.
Bagaimana mungkin kita berbicara mengenai kemajuan bangsa jika guru yang menjadi ujung tombak pendidikan masih memiliki mental “cari gampang”. Semangat untuk mau bergerak serentak dalam irama yang optimis akan kemajuan pendidikan sebenarnya telah terwakili oleh beberapa kebijakan pemerintah dalam mengembangkan kompetensi guru seperti guru penggerak dan sekolah penggerak.
Para guru dilatih untuk menjadi “agen perubahan” pada lingkungannya masing-masing. Menjadi pemicu lahirnya keseragaman dalam memandang visi dan misi pendidikan.
Dikutip dari polkam.go.id, Menko Polhukam Wiranto dalam sebuah kesempatan mengucapkan bahwa “…sekarang persyaratan apa yang kita butuhkan supaya bangsa ini bisa sesuai dengan ramalan dunia yaitu menjadi negara besar ke-4 tahun 2045, yakni sinergi dan solid.
Kita harus bersinergi dan harus solid…”. Kata sinergi dan solid ini familiar dengan keselarasan. Mungkin pemerintah harus mereduksi kembali seluruh hasil pemikiran serta kajian para pakar pendidikan untuk me-reset para guru agar selaras dan sejalan dengan tujuan pendidikan kita. Seperti apa yang dilakukan oleh Jepang pasca perang dunia II. Pemerintah mungkin bisa memulai suatu proyek besar dan benar-benar serius untuk memajukan pendidikan dan bangsa Indonesia. Proyek yang kembali merekonstruksi proses pencetakan guru.
Sejak pada program Sarjana maupun Profesi mereka sudah harus digembleng dengan serius untuk menjadi guru. Bisa saja kedepannya pendidikan guru akan dibuat sebagai sebuah pendidikan ikatan dinas yang berbasis taruna. Hal ini sangat memungkin dilakukan, namun tentu dengan kesiapan anggaran dan kesiapan seluruh dukungan sistem yang ada. Hingga akhirnya melahirkan guru yang “satu nafas” dari Sabang sampai Merauke. ( Edil Wiaya Nur