𝗧𝗘𝗥𝗢𝗣𝗢𝗡𝗚𝗔𝗦𝗣𝗜𝗥𝗔𝗦𝗜𝗠𝗔𝗦𝗬𝗔𝗥𝗔𝗞𝗔𝗧.𝗖𝗢𝗠 | Isu pendidikan karakter kian hangat diperbincangkan di dunia pendidikan. Fenomena degradasi moral di era globalisasi menjadi latar belakang penting lahirnya konsep pendidikan karakter. Pendidikan diyakini sebagai media paling tepat untuk meningkatkan keterampilan sekaligus membentuk watak peserta didik. Melalui pendidikan yang berkualitas, bangsa Indonesia bertekad mencetak generasi penerus yang cerdas, berdaya saing, sekaligus berakhlak mulia.
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dengan tujuan mencetak manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Era digital membuka akses luas ke berbagai sumber informasi. Namun, peluang ini juga diiringi dengan tantangan baru. Media sosial kerap menjadi saluran penyebaran hoaks, konten negatif, dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai karakter. Peserta didik sangat mudah terpapar informasi yang tidak sesuai dengan norma.
Penggunaan gawai berlebihan juga mendorong sikap individualis, mengurangi interaksi sosial nyata, serta menurunkan empati. Kecanduan teknologi membuat sebagian siswa lebih larut di dunia maya daripada membangun hubungan sosial di dunia nyata.
Selain itu, krisis keteladanan turut memperburuk situasi. Banyak figur publik di media sosial yang tidak menampilkan perilaku pantas untuk ditiru. Orang tua pun seringkali menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter kepada sekolah, padahal peran keluarga sangat menentukan. Fenomena parenting instan—memberi gawai agar anak tenang—justru menjauhkan anak dari pengalaman belajar yang positif.
Meski penuh tantangan, pendidikan karakter di era digital tetap dapat dioptimalkan dengan strategi yang tepat, antara lain:
- Integrasi nilai karakter dalam pembelajaran digital. Guru dapat menanamkan sikap jujur, tanggung jawab, dan disiplin dalam tugas berbasis daring.
- Keteladanan guru dan orang tua. Bijak menggunakan media sosial, tidak menyebarkan informasi yang tidak valid, serta membatasi durasi penggunaan gawai bagi anak.
- Kolaborasi sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendiri. Sinergi antar pihak menjadi kunci dalam membentuk ekosistem pendidikan yang berorientasi pada akhlak mulia.
Pendidikan karakter di era digital bukan hanya soal menanamkan nilai, tetapi juga membekali generasi muda dengan integritas, etika, dan moralitas dalam menghadapi derasnya arus informasi. Dengan strategi adaptif dan kolaboratif, kita dapat memastikan lahirnya generasi cerdas yang berakhlak dan siap bersaing di kancah global.
Penulis:
Ayu Janianti Yusuf, S.Pd., M.Pd.
Dosen Fakultas Seni dan Desain, UNM